Book Review: Mendidik Generasi Bangsa

img_8592

Perpustakaan bagi saya adalah tempat pengasingan paling nyaman di dunia. Mengasingkan diri dari hiruk pikuk dan kekacauan yang terjadi dimana-mana. Kekacauan yang bersentuhan langsung di sekitar saya, maupun segala bentuk kekacauan yang ditamapilkan di televisi, koran, maupun yang saya dapat dari sosial media.

img_8568

Berbicara mengenai kekacauan, ehm, rasanyanya semua dari kita setuju kondisi negara kita makin hari makin kisruh saja. Semua hal terasa berbau provokatif. Masyarakat terlalu reaktif terhadap berbagai hal yang terjadi. Tanpa memilih mana isu yang benar-benar layak untuk ditanggapi sekadar untuk menunjukkan keberadaan diri. Menyebarkan kebencian yang berakibat hancurkan persatuan dan kesatuan. Padahal begitu banyak permasalahan negeri ini yag patut menjadi perhatian kita bersama. Korupsi, kekerasan, pungutan liar, jual-beli kursi CPNS, perampokan, penganiayaan, premanisme, peradilan sesat, pembalakan liar, dan sejuta masalah yang ada.

Ada satu buku yang menarik perhatian saya ketika berkunjung ke Badan Perpustakaan dan Arsip Kota Pekanbaru beberapa hari yang lalu. Mendidik Generasi Bangsa: Perspektif Pendidikan Karakter yang ditulis oleh Muhyidin Albarobis.

img_7131

Pendidikan karakter adalah satu hal penting bagi setiap individu. Karakter adalah cirri khas dari masing-masing orang akan menentukan bagaimana seorang individu bertindak, berperilaku, berpikir, dan memperlakukan apa saja yang ada di sekitarnya. Gagasan pendidikan karakter ini, seperti yang sudah kita tau, sudah menjadi program pemerintah melalui kementerian pendidikan. Namun, dalam buku ini Penulis menjabarkan berbagai hal yang masih menjadi problem dalam pelaksanaannya. Sehingga Penulis mengajak pembaca semua untuk berdiskusi untuk mencari jalan keluar atau solusinya.

Begitu banyak permasalahan yang terjadi, seperti yang sudah dijelaskan di atas. Korupsi yang memiskinkan rakyat, hukum yang tumpul ke atas runcing ke bawah, pencabulan, kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, hingga manusia-manusia yang menghalalkan segala cara untuk bisa menduduki posisi strategis dan berkuasa. Seolah-olah bagai lingkaran setan, tidak hanya generasi tua yang seperti itu, anak-anak muda pun ketika sudah berada di posisi yang sama tiba-tiba juga melakukan hal yang sama. Alih-alih menjadi pahlawan, malah ikut terbawa arus. Sungguh ironi yang menjijikkan!

Lalu dari mana sifat setan itu didapat? Apakah setiap manusia lahir untuk membuat kerugian bagi orang di sekitarnya? Apakah itu semacam bakat dari lahir? Ehm, tentu tidak!

Setiap manusia terlahir menurut fitrahnya. Jika menurut teori tabula rasa, individu lahir bagai kertas putih, polos, tanpa ada tulisan sedikitpun. Bayi lahir tanpa membawa bakat apapun. Seiring perkembangan dan pertumbuhannya lah bakat itu di dapat, kertas putih menjadi ada gambar sesuai dengan kebiasaan yang ditularkan oleh orang-orang di lingkungannya. Sementara kaum nativis beranggapan sebaliknya. Faktor genetic menurut mereka memainkan peranan penting dalam membentuk karakternya, apakah baik atau buruk.

Namun, Muhyidin lebih cenderung setuju dengan penganut aliran konvergensi yang merupakan gabungan dari teori empirisme dan nativisme. Bahwa setiap anak di lahirkan menurut fitrahnya, yakni ada potensi bawaan yang memang dibawa sejak lahir, namun faktor eksternal dari lingkunganlah yang menjadikan apakah potensi tersebut menjadi baik atau malah buruk. Ketika orang-orang di dekatnya berperilaku jahat, licik, mental miskin, dan hal negatif lainnya, maka potensi buruklah yang akan menonjol dalam diri anak. Tapi sebaliknya, ketika anak ditunjukkan hal-hal positif, maka sifat malaikatlah yang akan menonjol. Sehingga faktor lingkungan menjadi amat sangat penting dalam tumbuh kembang anak.

“Menurut Fitrahnya, setiap manusia adalah baik serta cenderung menyukai kebaikan. Kalau kemudian ia tumbuh menjadi manusia yang jahat dan kehilangan fitrahnya, itu sama sekali bukan karena Tuhan memberinya potensi negatif. Bukan pula karena faktor turunan yang diwariskan oleh orangtuanya melalui darahnya.”

Lalu, ketika seorang anak mengalami perkembangan mental dan fisik yang tidak wajar, tidak ada yang patut disalahkan selain orangtua. Benar sekali. Rumah merupakan tempat sosialisas dan pembelajaran pertama yang didapat anak. Jika anak tumbuh dan berkembang tidak selayaknya, maka kerusakan itu berasal dari rumah!

Orangtua kadang tak cerdas dalam mendidik anak. Hal kecil saja, orangtua memberikan hiburan apa saja untuk anaknya, tak peduli apakah itu mendidik atau tidak. Membiarkan anak menonton tv sepanjang hari, bermain video game, sementara orangtua sibuk sendiri. kemana tradisi mendongeng untuk anak sebelum tidur? Apakah masih ada jaman sekarang sang ayah mengajarkan anaknya untuk membuat mainan sendiri? padahal sudah banyak penelitian para ahli yang mengatakan bahwa menonton tv dan bermain video game yang berlebihan akan mengganggu perkembangan anak, sehingga mereka sulit berkonsentrasi serta sulit melakukan gerakan motorik, sulit bersosialisasi dengan lingkungan, sulit berpikir kreatif, tidak menggunakan imajinasi sama sekali sehingga otak neo-koteksnya terbius.

Sebenarnya mendongeng itu sangat baik untuk mendekatkan hubungan dan kehangatan orangtua dengan anak. Selain itu, pendidikan moral yang terkandung dalam setiap dongeng dapat merangsang kecerdasan emosional dan spiritual anak. Sehingga anak yang terbiasa mendengarkan dongeng memiliki kemampuan yang baik dalam membedakan sifat baik dan jahat.

Selain keluarga, masyarakat dan sekolah merupakan tiga pilar penting dalam pendidikan. Dalam institusi pendidikan semacam sekolah, apakah guru sudah paham dengan pendidikan karakter yang dimaksudkan pemerintah? Kebanyakan guru sekarang menempatkan diri sebagai pengajar bukannya pendidik. Pengajar hanya sekadar mengajarkan teori dalam silabus tiap semesternya, tetapi pendidik lebih dari itu. Pendidik memberi contoh, menjadi panutan, ada proses pendekatan, dan itu murni dengan tujuan ikhlas agar sang anak berubah menjadi lebih baik. Itulah yang dinamakan proses belajar.

“Secara ideal pendidikan karakter bertujuan untuk membentuk bangsa yang tanggh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, toleran, bergotong royong, berjiwa patriotic, berkembang dinamis, berorientasii ilm pengetahuan dan teknologi, yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila (Kemdiknas, 2011).”

Namun, ada pilar keempat dalam pendidikan nasional, yakni peran pemerintah. Jika pemerintah hanya bisa mencanangkan rakyatnya untuk berkarakter baik dan sebagainya, tetapi mereka sendiri berperilaku demikian dzalim, maka pendidikan karakter ini saja tidaklah cukup. Para pemilik kekuasaan di negeri ini harusnya juga memberikan contoh yang baik, jangan terus-terusan membuat sensasi.

“Mental inlander membuat para penguasa bersedia didikte oleh segelintir neokolonialis asing, sementara mental korup membuat mereka gelap mata karena membayangkan berlimpahnya keuntungan pribadi yang dapat diraup dari penjualan aset negara”

Rasanya kutipan kalimat di atas sudah cukup dan sangat jelas menggambarkan bagaimana kondisi para pejabat public di negara ini. Penguasa sibuk memperkaya diri sendiri sementara rakyatnya setengah mati mencari makan untuk sehari. Jangan salahkan ini penyebab perampokan dan kekerasan sering terjadi.

Untuk menyelamatkan negara ini dari semua kenyataan gelap ini, semua pihak harus saling berkomitmen dan bersatu saling rangkul. Tidak bisa berjalan sendiri. Yakinlah, ketika kita semua bersama-sama berusaha menciptakan generasi penerus yang berkarakter ideal seperti yang diharapkan oleh departemen pendidikan negeri ini. Ini bisa berjalan dan bisa menjadi solusi bagi permasalahan bangsa kita. Butuh waktu lama memang, tapi lebih baik daripada opsi membasmi semua rakyat yang ada sekarang atau amputasi total.

 

Leave a comment